TINJAUAN PUSTAKA BATUAN METAMORF
Batuan
Metamorf
Kata “metamorfosa” berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “metamorphism” dimana “meta” yang artinya “berubah” dan “morph”
yang artinya “bentuk”. Dengan demikian pengertian “metamorfosa” dalam geologi
adalah merujuk pada perubahan dari kelompok mineral dan tekstur batuan yang
terjadi dalam suatu batuan yang mengalami tekanan dan temperatur yang berbeda
dengan tekanan dan temperatur saat batuan tersebut pertama kalinya terbentuk.
Sebagai catatan bahwa istilah “diagenesa” juga mengandung arti perubahan yang
terjadi pada batuan sedimen. Hanya saja proses diagenesa terjadi pada
temperatur dibawah 200° C dan tekanan dibawah 300 MPa (MPa = Mega Pascal) atau
setara dengan tekanan sebesar 3000 atmosfir, sedangkan “metamorofsa” terjadi
pada temperatur dan tekanan diatas “diagenesa”. Batuan yang dapat mengalami
tekanan dan temperatur diatas 300 Mpa dan 200° C umumnya berada pada kedalaman
tertentu dan biasanya berasosiasi dengan proses tektonik, terutama di daerah
tumbukan lempeng atau zona subduksi. Batas atas antara proses metamorfosa dan
pelelehan batuan masih menjadi pertanyaan hingga saat ini. Sekali batuan mulai
mencair, maka proses perubahan merupakan proses pembentukan batuan beku. Batuan
metamorf adalah batuan yang terbentuk dari batuan asal (batuan beku, sedimen,
metamorf) yang mengalami perubahan temperatur(T), tekanan (P), atau Temperatur
(T) dan Tekanan (P) secara bersamaan yang berakibat pada pembentukan
mineral-mineral baru dan tekstur batuan yang baru.
3.6.1. Tipe Metamorfosa
1. Metamorfosa Kataklastik adalah
metamorfosa yang diakibatkan oleh deformasi mekanis, seperti yang terjadi pada dua blok batuan yang mengalami
pergeseran satu dan lainnya disepajang suatu zona sesar / patahan. Panas yang
ditimbulkan oleh gesekan yang terjadi disepanjang zona patahan inilah yang
mengakibatkan batuan tergerus dan termetamorfosokan disepanjang zona ini.
Metamorfosa kataklastik jarang dijumpai dan biasanya menyebaran terbatas hanya
disepanjang zona sesar.
2. Metamorfosa Burial adalah
metamorfosa yang terjadi apabila batuan sedimen yang berada pada kedalaman tertentu dengan temperaturnya diatas 300° C serta
absennya tekanan diferensial. Pada kondisi tersebut maka mineral-mineral baru
akan berkembang, akan tetapi batuan tampak seperti tidak mengalami metamorfosa.
Mineral utama yang dihasilkan dalam kondisi tersebut adalah mineral zeolite.
Metamorfosa burial umumnya saling overlap dengan diagenesa dan akan berubah
menjadi metamorfosa regional seiring dengan meningkatnya tekanan dan
temperatur.
3.
Metamorfosa
Kontak adalah metamorfosa yang terjadi didekat intrusi batuan
beku dan merupakan hasil dari
kenaikan temperatur yang tinggi dan berhubungan dengan intrusi batuan beku.
Metamorfosa kontak hanya terjadi disekeliling intrusi yang terpanaskan oleh
magma dan bagian kontak ini dikenal sebagai “aureole metamorphic”. Derajat
metamorfosa akan meningkat kesegala arah kearah luar dari
tubuh intrusi. Metamorfosa kontak biasanya dikenal sebagai metamorfosa yang
bertekanan rendah dan temperatur tinggi dan batuan yang dihasilkan seringkali
batuan berbutir halus tanpa foliasi dan dikenal sebagai hornfels.
4.
Metamorfosa
Regional adalah metamorfosa yang terjadi pada wilayah yang sangat
luas dimana tingkat deformasi yang
tinggi dibawah tekanan diferensial. Metamorfosa jenis ini biasanya akan
menghasilkan batuan metamorf dengan tingkat foliasi yang sangat kuat, seperti
Slate, Schists, dan Gneisses. Tekanan diferensial berasal dari gaya tektonik
yang berakibat batuan mengalami tekanan (kompresi), dan tekanan ini umumnya
berasal dari dua masa benua yang saling bertumbukan satu dengan lainnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa batuan metamorfosa regional terjadi pada inti
dari rangkaian pegunungan atau pegunungan yang mengalami erosi. Hasil dari
tekanan kompresi pada batuan yang terlipat dan adanya penebalan kerak dapat
mendorong batuan kearah bagian bawah sehingga menjadi lebih dalam yang memiliki
tekanan dan temperatur lebih tinggi.
3.6.2. Derajat Metamorfosa
Berdasarkan tekanan dan temperatur yang
berada diatas kondisi diagenesa, maka ada 3 tingkat derajat metamorfosa yang
dapat dikenal, yaitu derajat metomorfosa rendah, sedang dan tinggi. Adapun
batas antara metamorfosa dan peleburan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan dan
jumlah air yang terdapat dalam batuan. Pada gambar 3-24 diperlihatkan hubungan
antara Tekanan (P), Temperatur (T), Kedalaman (D) dan Tipe/Jenis Metamorfosa.
Metamorfosa Burial dicirikan oleh tekanan, temperatur, yang rendah dan
kedalaman yang relatif dangkal. Tipe metamorfosa akan meningkat seiring dengan
meningkatnya tekanan, temperatur, dan kedalaman, yaitu dari Burial Metamorfosa
berubah menjadi Metamorfosa Regional Derajat Rendah dan kemudian dengan semakin
meningkatnya tekanan, temperatur dan kedalaman Metamorfosa Regional Derajat
Rendah dapat berubah menjadi Metamorfosa Regional Derajat Tinggi, sedangkan
pada kedalaman (D > 20 km), Tekanan (P > 7 kilobars), dan Temperatur (T
> 700° C ) batuan akan mengalami peleburan (mencair) menjadi magma.
Gambar
3-24 Hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T),
Kedalaman (D) dan Derajat Metamorfosa
Kecepatan dimana suatu batuan akan mengalami perubahan
dari sekumpulan mineral-mineralnya untuk mencapai keseimbangan pada kondisi
tekanan dan temperatur yang baru tergantung pada 3 (tiga) faktor, yaitu:
1. Kandungan fluida (terutama
air) yang ada dalam batuan. Air yang ada dalam batuan berfungsi sebagai
katalisator dalam mentransformasi mineral-mineral yang terdapat dalam batuan.
2. Temperatur, reaksi kimia akan terjadi
lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi.
3. Waktu, untuk dapat tumbuhnya
kelompok mineral mineral metamorfik yang baru pada suatu batuan sangat
dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur yang bekerja terhadap batuan tersebut, oleh karena itu batuan tersebut harus mendapat
tekanan dan temperatur yang cukup lama (umumnya ribuan hingga jutaan tahun).
Perubahan
yang terjadi didalam kelompok mineral mencerminkan suatu peningkatan dalam
derajat metamorfosa (contoh, burial sedimentary atau penebalan kerak akibat
tektonik) yang dikenal dengan “prograde metamorphism”. Perubahan yang
disebabkan oleh suatu penurunan dalam derajat metamorfosa ( contoh, adanya
pengangkatan tektonik dan erosi) dikenal dengan “retrograde”. Perubahan dalam
kelompok mineral pada suatu batuan metamorf didorong oleh komponen-komponen
kimiawinya untuk mencapai konfigurasi energi yang terendah pada kondisi tekanan
dan temperatur yang ada. Jenis jenis mineral yang terbentuk tergantung tidak
saja pada T dan P tetapi juga pada komposisi mineral yang terdapat dalam
batuan. Apabila suatu tubuh batuan mengalami peningkatan tekanan dan atau
temperatur maka batuan tersebut berada dalam keadaan “prograde metamorphism”
atau batuan mengalami peningkatan derajat metamorfosanya. Derajat metamorfosa
adalah istilah yang umum yang dipakai untuk menjelaskan kondisi tekanan dan
temperatur dimana batuan metamorf terbentuk.
Gambar 3-25 Hubungan
antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan, Temperatur dan Kedalaman
Gambar
3-26
Facies Metamorfosa
Metamorfosa derajat rendah terjadi
pada temperatur antara 200° – 320° C dan tekanan yang relatif rendah. Batuan metamorf
derajat rendah dicirikan oleh berlimpahnya mineral-mineral hydrous, yaitu
mineral-mineral yang mengandung air (H2O) didalam struktur
kristalnya).
·
Mineral Lempung
·
Serpentine
·
Chlorite
Metamorfosa derajat tinggi terjadi
pada temperatur lebih besar dari 320° C dan tekanan yang relatif tinggi. Seiring dengan meningkatnya derajat metamorfosa,
maka mineral-mineral hydrous akan semakin kurang hydrous dikarenakan hilangnya
unsur H2O dan mineral-mineral non-hydrous menjadi bertambah banyak.
Contoh mineral-mineral yang kurang hydrous dan mineral-mineral non-hydrous yang
mencirikan batuan metamorfosa derajat tinggi adalah:
·
Muscovite
-
mineral hydrous yang akan menghilang pada metamorfosa derajat tinggi
·
Biotite
-
mineral hydrous yang stabil pada meskipun pada metamorfosa derajat tinggi
sekalipun.
·
Pyroxene
-
mineral non-hydrous
·
Garnet
-
mineral non-hydrous
3.6.3. Metamorfosa
Retrogresif
Batuan yang berada jauh didalam perut bumi
dapat mengalami penurunan tekanan dan temperatur apabila mengalami erosi
sebagai akibat dari pengangkatan secara tektonik. Peristiwa tersingkapnya
batuan akibat erosi ini memungkinan batuan mengalami pembalikan proses
metamorfosa, yaitu batuan kembali pada kondisi awal sebelum mengalami
metamorfosa. Pembalikan proses metamorfosa seperti ini dikenal dengan istilah
metamorfosa retrogresif. Apabila proses metamorfosa retrogresif merupakan
sesuatu yang bersifat umum, maka batuan jenis ini seharusnya juga umum dijumpai
dipermukaan bumi, namun demikian kenyataannya bahwa batuan metamorfosa
retrogresif jarang dijumpai tersingkap dipermukaan bumi. Alasan alasan mengapa
batuan retrogresif tidak umum dijumpai adalah:
·
Reaksi kimia akan melambat seiring dengan
menurunnya temperatur.
·
Selama proses metamorfosa retrogresif,
larutan fluida seperti H2O dan CO2 menjadi bersifat
pasif, padahal fluida diperlukan dalam pembentukan mineral-mineral hydrous yang
bersifat stabil di permukaan bumi.
·
Reaksi kimia juga akan dipercepat dengan
hadirnya fluida, tetapi jika fluida tidak berfungsi sebagai pendorong pada
proses metamorfosa retrogresif, maka percepatan reaksi kimia tidak terjadi
selama proses metamorfosa retrogresif berlangsung.
3.6.4. Faktor Faktor
Pengendali Metamorfosa
Pada dasarnya metamorfosa terjadi karena
beberapa mineral hanya akan stabil pada kondisi tekanan dan temperatur
tertentu. Ketika tekanan dan temperaturnya berubah, reaksi kimia terjadi akan
menyebabkan mineral-mineral yang terdapat dalam batuan berubah menjadi
sekumpulan mineral yang stabil pada kondisi tekanan dan temperatur yang baru.
Namun demikian proses ini sangat komplek, seperti seberapa besar tekanan yang
diperlukan agar supaya batuan berubah, waktu yang dibutuhkan untuk merubah
batuan, ada tidaknya larutan fluida selama proses metamorfosa.
1. Temperatur
ü Naiknya
temperatur seiring dengan kedalaman bumi sesuai dengan gradient geothermal. Dengan
demikian temperatur semakin tinggi dapat terjadi pada batuan yang berada jauh
didalam bumi.
ü Temperatur
dapat juga meningkat karena adanya intrusi batuan.
2. Tekanan
ü Tekanan
juga akan meningkat dengan kedalaman bumi, dengan demikian tekanan dan
temperatur akan bervariasi disetiap tempat di kedalaman bumi. Tekanan
didefinisikan sebagai gaya yang bekerja kesegala arah
secara seimbang dan tekanan jenis ini disebut sebagai “hydrostatic stress” atau
“uniform stress”. Jika tekanan kesegala arah tidak seimbang maka disebut
sebagai “differential stress”.
Gambar 3-27 Tekanan Hydrostatic (kiri)
dan Tekanan Diferensial (kanan)
ü Jika
tekanan diferensial hadir selama proses metamorfosa, maka tekanan ini dapat
berdampak pada tektur batuan. Butiran butiran yang berbentuk membundar
(rounded) akan berubah menjadi lonjong dengan arah orientasinya tegak lurus
dengan tekanan maksimum dari tekanan diferensial.
Gambar
3-28 Perubahan bentuk butir dari bentuk membundar ke
bentuk lonjong sebagai akibat tekanan diferensial
ü Mineral-mineral
yang berbentuk kristal atau mineral yang tumbuh dalam kondisi tekanan
diferensial dapat membentuk orientasi. Hal ini terutama terjadi pada
mineral-mineral silikat, seperti mineral biotite dan muscovite, chlorite, talc,
dan serpentine.
Gambar 3-29
Orientasi lembaran mineral mineral silikat akibat Tekanan Diferensial
Mineral-mineral
silikat yang tumbuh dengan lembarannya berorientasi tegak lurus terhadap arah
maksimum tekanan diferensial akan menyebabkan batuan mudah pecah sejajar dengan
arah oerientasi dari lembaran mineralnya. Struktur yang demikian disebut
sebagai foliasi.
3. Fasa Fluida
Keberadaan setiap rongga antar butir dalam suatu batuan
menjadi potensi untuk diisi oleh larutan fluida, dan umumnya larutan fluida
yang paling dominan adalah H2O, tetapi berisi material mineral. Fase
fluida adalah fase yang penting karena rekasi kimia yang melibatkan sau mineral
padat berubah menjadi mineral padat lainnya hanya dapat dipercepat oleh adanya
fluida yang berfungsi sebagai pembawa ion-ion terlarut. Dengan naiknya tekanan
pada proses metamorfosa, maka ruang antar butir tempat fluida mengalir menjadi
berkurang dan dengan demikian fluida menjadi tidak
berfungsi sebagai penggerak reaksi. Dengan demikian tidak ada larutan fluida
ketika temperatur dan tekanan berkurang sehingga metamorfosa retrogresif
menjadi sulit terjadi.
4. Waktu
Reaksi kimia yang terlibat dalam metamorfosa, selama
re-kristalisasi, dan pertumbuhan mineral-mineral baru terjadi pada waktu yang
sangat lambat. Hasil uji laboratorium mendukung hal tersebut dimana dibutuhkan
waktu yang lama dalam proses metamorfosa untuk membentuk butiran butiran
mineral yang ukurannya cukup besar. Jadi, batuan metamorf yang berbutir kasar
akan memerlukan waktu yang lama, diperkirakan membutuhkan waktu hingga jutaan
tahun.
3.6.5. Respon Batuan
Terhadap Meningkatnya Derajat Metamorfosa
Pada dasarnya suatu batuan yang mengalami proses
metamorfosa akan mengakibatkan struktur batuan juga berubah. Sebagai contoh
batu serpih yang terkena metamorfosa akan berubah menjadi slate dan struktur
batuannya juga akan berubah dari kondisi awalnya.
Slate adalah
bentuk batuan metamorf derajat rendah yang tersusun dari hasil pertumbuhan mineral-mineral lempung dan chlorite
berbutir halus. Orientasi utama dari lembaran mineral-mineral silikat yang menyebabkan
batuan mudah pecah melalui bidang yang sejajar dengan lembaran mineral silikat
dan dikenal dengan struktur “slatey cleavage”. Pada gambar 3.30 diperlihatkan
bahwa tekanan maksimum yang membentuk sudut dengan bidang perlapisan asli dari
batu serpih sehingga slatey cleavage akan berkembang pada arah yang tegak lurus
dengan tekanan maksimumnya.
Gambar 3-30 Batu Sabak (Slate) (kiri) dan sayatan tipis batusabak yang
memperlihatkan tekstur “Slatey Cleavage” yang terbentuk dari adanya orientasi
lembaran mineral mineral silikat akibat Tekanan Diferensial
Schist – Ukuran dari butiran-butiran mineral cenderung akan menjadi besar
dengan meningkatnya derajat
metamorfosa. Meskipun batuan tersebut berkembang dekat dengan bidang foliasinya
yang menyebabkan orientasi lembaran-lembaran silikat
(terutama biotite dan muscovite), walaupun butiran-butiran Feldspar dan Kuarsa
tidak memperlihatkan arah orientasi. Ketidak teraturan bidang foliasi pada
tahap ini disebut dengan “schistosity”.
Gambar
3-31 Batuan
Schist (kiri) dan sayatan tipis batuan Schist yang memperlihatkan tekstur
“schistosity” dengan orientasi mineral mineral silikat (biotite dan muscovit)
yang berarah tegak lurus dengan tekanan diferensial maksimalnya (kanan).
Gneiss – Seiring dengan naiknya
derajat metamorfosa maka lembaran-lembaran dari mineral silikat menjadi tidak stabil dan mineral-mineral berwarna gelap
seperti hornblende dan pyroxene mulai tumbuh. Mineral-mineral berwarna gelap
ini cenderung akan memisahkan diri dalam kelompok yang jelas di dalam batuan
yang disebut dengan “ Gneissic Banding”.
Gambar
3-32 Batuan Gneiss (kiri) dan sayatan tipis batuan
Gneiss yang memperlihatkan tekstur “Gneissic Banding” antara mineral mineral
berwarna gelap dengan Feldspar dan Kuarsa (kanan). Arah orientasi gneissic
banding tegak lurus dengan tekanan diferensial maksimalnya.
Mineral-mineral berwarna
gelap ini cenderung membentuk kristal yang berbentuk lonjong (elongated)
dibandingkan membentuk kristal yang pipih dan arah orientasinya searah dengan
sumbu terpanjangnya dan tegak lurus dengan arah maksimum tekanan
diferensialnya.
Granulite – Pada metamorfosa derajat yang paling
tinggi seluruh mineral-mineral hydrous dan
lembaran mineral silikat menjadi tidak sttabil dan hanya beberapa mineral
hadir yang memperlihatkan orientasi. Batuan yang dihasilkan dari proses
metamorfosa derajat tinggi akan memiliki tekstur granulitic yang mirip dengan
tekstur phaneric dalam batuan beku.
Gambar
3-33 Sampel Batuan Metamorf “Granulite” (kiri) dan
Sayatan tipis tekstur “Porphyroblastic” pada batuan Granulite (kanan)
3.6.6. Perubahan Tekstur
Batuan Terhadap Metamorfosa.
Beberapa perubahan jenis tekstur dapat terjadi selama
proses metamorfosa, terutama perubahan yang disebabkan oleh intensitas dan arah
tekanan yang terjadi pada batuan.
1)
Meningkatnya ukuran besar butir. Selama
proses progresive metamorfosa atau pada derajat metamorfosa tertentu dalam
perioda waktu yang cukup lama, mineral-mineral cenderung akan bertambah besar
ukurannya.
2)
Foliasi. Dengan semakin meningkatnya
pembentukan mineral pipih (slaty) maka mineral-mineral ini akan berorientasi
dan mengarah kearah tegak lurus dari arah tekanan maksimal. Mineral mineral
lempung dan mica halus akan membentuk tekstur slaty cleavage. Pada batuan yang
berderajat leih tinggi, butiran butiran mineral mica akan membentuk tekstur
sekistositi.
3)
Gneissic Banding. Pada batuan berderajat
tinggi, mineral-mineral Mg-Fe (biotite, amphibole, pyroxene, sillimanite)
cenderung akan memisahkan diri dari mineral-mineral yang berwarna lebih terang
(feldspar dan kuarsa) menghasilkan tekstur Banding pada batuan.
4)
Tekstur Porphyroblastic. Ketika beberapa
mineral-mineral metamorf baru mulai terbentuk, dimana pertumbuhannya membentuk
bentuk kristal yang sempurna yang berada diantara matriknya. Kristal tersebut
dinamakan sebagai porphyroblasts dan umumnya dijumpai sebagai mineral garnet,
sillimanite, dan alkali feldspar.
5)
Tekstur Granoblastik. Tektur ini terbentuk
pada metamorfosa kontak yang mengalami kenaikan temperatur yang cukup lama,
batuan akan berkembang dengan tekstur yang sangat granular. Batuan ini dikenal
dengan Hornfels.
Gambar
3-33
Berbagai jenis sayatan tipis batuan metamorf.
Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
Jika teman-teman masih bingung cara download silahkan klik link di bawah ini (CATATAN : LANGSUNG KE LANGKAH NO.7):